Perempuan dan Emas

Ia hanyalah lulusan aliyah (setingkat SMA). Tapi, sepanjang hidupnya perempuan ini telah mengajari kami kebersahajaan dan sikap rendah hati.

Aku ingat, ia tak pernah membolehkan anak-anak perempuannya memakai perhiasan emas. Hanya telinga saja yang boleh disemat sepasang anting. Itu pun anting emas sederhana, tidak boleh ramai dan menonjol.

Gelang atau cincin emas hanya mampir di tangan dan jari kami satu atau dua kali dalam setahun, saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Itu pun kalau dia tak lupa memasangkannya kepada kami. Dalam dua hari itu aku merasa bahagia karena bisa merasa menjadi begitu istimewa, bisa seperti gadis-gadis kecil atau perempuan lain: memakai perhiasan. Setelah hari itu lewat, ia memanggil anak-anak perempuannya. Gelang dan cincin itu pun disimpan kembali.

Kami, anak-anak perempuannya, tak pernah menangis ketika perhiasan itu ia ambil lagi. Tidak ada juga rasa kehilangan. Ada atau tiada perhiasan itu, kami tetap merasa nyaman.

Kami juga tak protes karena, seperti apa yang ia lakukan pada kami, perempuan itu pun melakukannya. Ya, ia juga hanya mengenakan gelang dan cincin di hari raya. Giwang pun dalam keseharian jarang ia pakai.

Saat menghadiri resepsi atau undangan, ia juga tak mengenakan perhiasan emas. Ah, ia sungguh berbeda dengan perempuan-perempuan yang, dalam acara tertentu dan bahkan keseharian, bagai toko emas berjalan. Apatah lagi saat ia mengunjungi teman dan keluarga yang tak punya atau yang tengah dirundung duka. Tapi, tanpa perhiasan itu, aku melihat banyak orang menghormati dan menyayanginya.

Ketika kami, anak-anak perempuannya, akan keluar rumah, ia mengamati kami. Tampak berlebihankah tampilan kami? Sudah tertutup rapatkah bagian-bagian tubuh tertentu kami? Ia tak suka kami berada di luar rumah dengan perhiasan berlebihan, apalagi bila kami berjalan sendirian.
“Memancing orang berbuat jahat,’ ujarnya setiap kali ia melepas perhiasan emas.
“Mau pamer, berlagak kayak? Kita bukan orang kaya, nak,” katanya di lain waktu, menohok hati kami.
“Jangan ikut-ikutan orang lain,” tegasnya.
Dalam hal ini, aturannya tak boleh kami langgar. Laki-laki di sampingnya pun, ayah kami, mendukung dan menyetujui. Aturan di rumah, ibulah yang menegakkannya dengan persetujuan ayah.

Begitulah dia, perempuan yang sudah meninggalkan kami 14 tahun lalu. Ia melakukan pekerjaan besar dalam hidup kami, anak-anak perempuannya.

Aku kini mengerti, ia mengajari lebih dari sekadar aturan mengenakan perhiasan. Ia mengajari kami toleransi dan kepekaan sosial. Ia mengajari kami untuk melindungi diri. Ia mengajari kami untuk menjadi diri sendiri, menjadi pribadi yang percaya diri meski tanpa perhiasan; menjadi pribadi yang tak bertumpu pada tampilan fisik. Ia mengajari kami untuk menampilkan kecantikan dan pesona dari dalam diri. Kekuatan pribadi kitalah yang akan menarik banyak orang berada di samping kita, bukan emas kita.

Terima kasih, Mama. Doa putri kecilmu selalu untukmu. Mama perlu tahu, rindu teramat dalam padamu selalu memompa semangatku untuk menjadi lebih baik.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Leave a comment